Sesuai dengan tata urutan perundangan posisi UU lebih rendah daripada UUD, berdasarkan asas hukum Lex superiori derogat Lex inferiori maka di Papua terkait hak masyarakat adat ominus law tdk dapat melangkahi pengaturan UUD 1945 pasal 18B ayat 1 dan Pasal 18B ayat 2 yang telah diturunkan dalam sebuah UU yang berstatus khusus sesuai dengan UUD 1945.
Dalam UU khusus ini perlindungan hak masy adat telah diatur dalam sebuah bab sehingga UU omnibus law tdk dapat melangkahi pengaturan itu
Sebuah UU tdk dapat mengesampingkan UUD 1945, khususnya UU omnibus law isinya tdk boleh bertentangan dengan isi UUD 1945. Khusus untuk Papua, negara telah memberi pengakuan dan penghormatan melalui UUD 1945 Pasal 18B ayat 1 bahwa, Negara mengakui dan menghormatinya kesatuan kesatuan pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan undang-undang.
suara rakyat para tani, buru ,melayang penolakan penuh dengan tegas bahwa umnibus law karena merusak alam dan lingkungan sekitar tidak ada jaminan bagi rakyat pemerintahan pusat bulan merusak melainkan menjaga melindungi dan mengayomi masyarakat .
Dalam konteks RUU Cipta Kerja, pemerintah harus ada tanggapan persoalan sosial karena umnibus law satu kerusakan alam bawahkan pun banyak kerusakan dan pemerintah adalah wakil rakyat namun kebijakan investasi bagi perusahaan untuk meningkatkan hasil dari PT.c.p yang lingkungan sekitar .kami seluruh rakyat menolak dengan tegas umnibus law salah mengantam hukum adat oleh sebab itu pemerintah melihat apa yang terjadi di kalangan masyarakat memberikan perlindungan semaksimal mungkin .
untuk itu bagi kaum penguasa pekerja untuk merealisasikan iklim kerja yang berkualitas hanya penguasaan yang punya modal kehidupan masyarakat kembali kemiskinan kami sebagai para tani ,buru melayang, dan lain nya hidup kemana ketika penguasaan asing masuk dan mengambil kekayaan kami dimiarkan begitu saja penguasa ucapkan manis depan rakyat .
pekerja harus dilihat sebagai subjek, bukan sekedar objek. “Sayangnya, kehidupan masyarakat implementasi kebijakan yang digunakan pemerintah dalam RUU Cipta Kerja justru terbalik bagi pemodal asing kuasai: menempatkan pengusaha pada hirarki proteksi tertinggi sementara menempatkan pekerja pada lapisan terbawah.”
kebijakan itu menyoroti tiga isu utama substansi yang terkandung dalam Omnibus Law Cipta Kerja, salah satunya "memangkas aturan" yang menurut LBH jumlahnya mencapai 516 peraturan. Menurut LBH, hal itu justru malah melahirkan banyak peraturan pelaksanaan yang baru. “Pada akhirnya, jumlah yang besar ini membuktikan bahwa hipotesis Pemerintah tentang efektivitas RUU Cipta Kerja sebagai cara menyelesaikan tumpang tindihnya regulasi di Indonesia tidak terbukti.” Klaim mereka. Sementara dua isu lain yang disorot LBH adalah Ketenagakerjaan; serta Perkotaan dan Masyarakat Urban.
Omnibus Law hanya akan melahirkan ketidakadilan berupa pengorbanan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang PHK massal, hingga penghapusan pidana perburuhan.
Selain itu, diskriminatif dalam pelaksanaan hukum, semakin banyaknya penggusuran, hingga potensi memperparah pelanggaran tata ruang dan fungsi zona. Menurut mereka, hal itu adalah implikasi lain yang bakal terjadi akibat pengesahan Omnibus Law dalam isu perkotaan dan masyarakat urban.
Berdasarkan kajiannya tersebut, akhirnya LBH Jakarta merekomendasikan kepada Pemerintah dan DPR RI, untuk secepatnya: Menghentikan seluruh proses pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja demi kepentingan Rakyat Indonesia. Mencabut draf RUU Cipta Kerja dari Program Legislasi Nasional. Mengedepankan dan memperkuat perlindungan serta pemenuhan hak-hak masyarakat, termasuk kelompok pekerja. Menggalakkan gerakan pemberantasan korupsi yang notabene merupakan penyebab segala masalah sosial. Menuntut Pemerintah menanggalkan politik pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
warta: maipaiwiyai dg
Editor :suara wedauma news
SELAMAT KOMENTAR