Foto duc mliterlisme kolonial |
Penembakan terhadap Mama Agustina Hondau yang terjadi di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Intan Jaya, pada Selasa, (9/11/2021) seharus menjadi dasar yang cukup untuk menghentikan pendekatan keamanan dalam penyelesaian konflik Papua. Penembakan yang diduga dilakukan prajurit TNI itu juga membuktikan Negara gagal melindungi hak atas rasa aman perempuan di Papua.
Hal itu dinyatakan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti melalui keterangan pers tertulisnya pada Rabu (10/11/2021). Ia menyatakan pendekatan militerisasi atau sekuritisasi dalam menyelesaikan konflik di Papua tidak terbukti efektif, dan tidak menyentuh akar persoalan yang ada.
Pendekatan itu justru menimbulkan banyak korban dan pihak warga sipil. Fatia menilai penembakan itu juga melanggar sejumlah ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM). Ketentuan yang dilanggar itu termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Penyiksaan maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang hak setiap Warga Negera Indonesia untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
“Selain itu, peristiwa ini juga cerminan minimnya perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan. Dalam konteks kasus itu, bahkan aparat negara yang menjadi terduga pelakunya,” kata Fatia.
Fatia menegaskan konflik di Papua juga melanggara hak atas keadilan,karena tidak ada mekanisme hukum yang transparan dan akuntabel dalam menindak aparat keamanan yang terlibat. “Peristiwa semacam itu akan terus berulang, karena telah mengakarnya impunitas, sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku kekerasan. Selain itu, hak-hak korban untuk mendapatkan pemulihan yang layak dan efektif juga diabaikan,” ujarnya.
Penembakan Agustina Hondau yang diduga dilakukan oleh anggota TNI tentu juga memperpanjang deretan buruk keterlibatan TNI dalam penyelesaian konflik di Papua. “Padahal operasi yang dilakukan tanpa didasarkan oleh keputusan politik negara yang jelas dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana di tentukan oleh UU TNI,” kata Fatia.
Kontras mendesak Kepolisian Daerah Papua untuk mengusut tuntas kasus penembakan Agustina Hondau melalui mekanisme yang adil dan akuntabel guna menghukum pelaku. “LPSK untuk melakukan pemulihan terhadap hak korban penembakan,” ucapnya.
“Pemerintah setempat untuk menjamin hak atas rasa aman bagi warga sipil di Kampung Mamba, Intan Jaya, termasuk kepada para pengungsi. Presiden dan DPR RI untuk menghentikan dan mengevaluasi secara serius pendekatan penyelesaian konflik di Papua yang kental dengan kekerasan. Pendekatan sekuritisasi/militerisasi terbukti hanya menambah korban lainnya, terutama masyarakat sipil,” kata Fatia.
Secara terpisah, anggota Komisi 1 DPR RI dari Daerah Pemilihan Papua, Yan Permenas Mandenas mempertanyakan profesionalitas TNI dan Polri dalam menangani konflik di Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya. Pasalnya, warga sipil di Intan Jaya terus menjadi korban, termasuk Mama Agustina Undou yang ditembak di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Intan Jaya, Selasa, (10/11/2021).
Hal itu dinyatakan Mandenas kepada Jubi pada Rabu (10/11/2021). Mandenas menegaskan jika informasi yang menyatakan Agustina Undou ditembak oleh aparat keamanan benar, berarti aparat keamanan tidak profesional.
“Jika benar penembakan itu dilakukan oknum TNI, itu menjadi bukti TNI belum profesional dalam menangani persoalan keamanan di Papua. Sebab, itu bukan kali pertama terjadi. Begitu banyak warga sipil Papua menjadi korban. Masih tersimpan dalam ingatan kasus Pdt Yeremiah Zanambani, Janius Bagau, dan anak-anak remaja Papua yang meninggal karena ditembak oknum TNI,” ungkap Mandenas.
Mandenas mengutip data Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua dan KontraS yang mencatat ada 63 peristiwa kekerasan militer yang dilakukan anggota TNI/Polri sepanjang Januari hingga Desember 2020. Dalam berbagai kekerasan itu, 304 warga sipil di Provinsi Papua maupun Papua Barat menjadi korban.
“Berkaca kepada hal tersebut, saya mempertanyakan di mana perlindungan negara dan TNI terhadap rakyat? Kejadian penembakan ini tentu menggambarkan luputnya hal tersebut,” kata dia.
Mandenas menyatakan konflik Papua yang sudah berlangsung lama ini, seharusnya banyak hal yang sebenarnya dipetik sebagai pelajaran. “Salah satunya adalah mengenai pendekatan dan respons negara terhadap penanganan konflik di Papua,” ucapnya.
Pendekatan militeristik yang dipilih sepertinya masih jauh dari kata berhasil, karena perlawanan pun nyatanya tetap ada bahkan terus berkembang. “Yang sangat disayangkan dan seharusnya tidak terjadi, justru semakin menambah korban jiwa warga sipil yang padahal tidak terlibat konflik,” ujarnya.
Mandenas menyatakan pemerintah dan TNI harus segera melakukan evaluasi kinerja atas pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan di Papua. Ia mendorong pemerintah dan pihak terkait mengubah pendekatan menjadi lebih humanis, yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan dan kemartabatan. “Mendesak untuk pihak-pihak terkait segera mengambil langkah dan mengubah pendekatan untuk menghentikan kasus serupa terjadi, supaya tidak ada lagi warga sipil Papua yang menjadi korban dan meninggal secara sia-sia,” tegasnya.
Ia juga mendesak TNI menindak dan memberi sanksi tegas kepada oknum pelaku kekerasan terhadap warga sipil di Papua. Menurutnya, Negara harus memastikan penegakan hukum berjalan adil dan transparan.
“Indonesia ini adalah negara hukum. Maka itu, siapa pun yang melanggar hukum tentu harus ditindak, tidak bisa pandang bulu karena semua sama di depan hukum. Dalam kasus konflik Papua ini, [seharusnya] penegakan hukum tidak hanya berlaku bagi mereka yang dianggap Kelompok Kriminal Bersenjata, melainkan juga aparat TNI-Polri yang terbukti bersalah,” ujar Mandenas. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G
SELAMAT KOMENTAR